Assalamu'alaikum

أهلا و سهلا ومر حبا

Kamis, 26 Mei 2011

kekeliruan dalam Ziarah kubur3

Keenam, shalat menghadap kuburan
Kekeliruan ini berkaitan erat dengan poin sebelumnya, karena shalat merupakan salah satu bentuk peribadatan dan tidak sepatutnya dilakukan di kuburan apalagi menghadap kuburan.
Sebagian kaum muslimin berkeyakinan shalat menghadap kuburan para wali akan menambah kekhusyukan atau dapat mendatangkan keberkahan. Padahal terdapat dalil yang menunjukkan secara tegas bahwa hal tersebut dilarang dalam syari’at kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تصلوا إلى القبور ولا تجلسوا عليها
“Janganlah kalian shalat menghadap kubur dan duduk di atasnya” (HR. Muslim nomor 972).

An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Dalam hadits ini terdapat larangan tegas untuk melaksanakan shalat sambil menghadap kuburan” (Al Minhaj 7/38).

Al Manawi dalam Faidlul Qadir 6/390 mengatakan,
“Maksud sabda nabi ‘ولا تصلوا إليها’ adalah shalat dengan menghadap ke kubur, karena hal tersebut merupakan bentuk pengagungan yang berlebihan dan dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang disembah. Hadits ini menggabungkan antara larangan untuk menghina kuburan (dengan duduk di atasnya) dan larangan mengagungkan kubur secara berlebihan (yaitu dengan shalat menghadapnya). Ibnu Hajar mengatakan, “(Larangan dalam hadits di atas) mencakup shalat di atas kubur, menghadap kuburan atau melaksanakan shalat di sela-sela kubur”

Di tempat yang sama 6/407 beliau (Al Manawi) mengatakan,
“Perbuatan seperti itu dibenci. Apabila seorang bermaksud mencari berkah dengan melaksanakan shalat di tempat itu, maka ia telah melakukan bid’ah dalam agama yang tidak Allah izinkan. Makruh yang dimaksud adalah makruh tanzih. (Namun) An Nawawi mengatakan, ‘Demikianlah menurut rekan-rekan kami (maksudnya hukum shalat menghadap kuburan adalah makruh tanzih), namun jika ada pendapat yang menyatakan hal tersebut haram berdasarkan teks hadits, maka hal itu juga tidaklah salah. Hadits ini juga mengandung larangan untuk melaksanakan shalat di pekuburan dan hukumnya adalah haram”.

Imam Asy Syafi’i dan beberapa rekan beliau menyatakan,
“Shalat menghadap kuburan merupakan perbuatan yang dibenci, baik penghuni kubur tersebut seorang yang shalih atau bukan” (Al Majmu’ 5/316).

An Nawawi menyatakan,
“Al Hafizh Abu Musa berkata, ‘Al Imam Abul Hasan Az Za’farani rahimahullah mengatakan, ‘Tidak boleh shalat sambil menghadap kuburan, tidak pula di sampingnya (walau tidak menghadap kubur) dengan tujuan tabarruk dengan kubur tersebut atau sebagai bentuk pengagungan terhadapnya sebagaimana larangan ini tertera dalam berbagai hadits. Wallahu a’lam” (Al Majmu’ 5/316-317).

Ketujuh, membaca Al Qur-an di kuburan
Tidak terdapat riwayat valid yang menerangkan bahwa membaca al qur-an ketika berziarah kubur merupakan sesuatu yang disyari’’atkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajarkan kepada kita untuk mengucapkan salam kepada para penghuni kubur ketika berziarah sebagaimana hal tersebut beliau ajarkan kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah radliallahu ‘anha. Jika pembacaan al qur-an adalah sesuatu yang disyari’atkan ketika berziarah kubur, niscaya akan terdapat riwayat valid yang menjelaskan kepada kita akan hal tersebut. Diantara dalil yang memperkuat pernyataan ini adalah hadits Abu Hurairah, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تجعلوا بيوتكم مقابر إن الشيطان ينفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة
“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian laksana kuburan. Sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah” (HR. Muslim nomor 280).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat untuk membaca Al Qur-an. Oleh karena itu, beliau menganjurkan untuk membaca Al Qur-an di rumah dan melarang umatnya agar tidak menjadikan rumah mereka laksana kuburan yang tidak pernah dijadikan sebagai tempat untuk membaca Al Qur-an (Ahkaamul Janaaiz hal. 242).

Terdapat riwayat yang menyatakan bahwa sebagian para sahabat berwasiat agar dibacakan surat tertentu ketika prosesi pemakaman mereka. Untuk menjawab hal ini kita perlu menyimak perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta’ala, “Adapun membaca Al Qur-an secara terus-menerus di kuburan, maka hal ini tidak pernah dikenal di kalangan salaf. Para ulama telah berselisih pendapat mengenai hukum membaca Al Qur-an di pekuburan. Abu Hanifah, Malik dan Ahmad dalam beberapa riwayatnya membenci perbuatan itu, meski dalam satu riwayat terakhir Ahmad memberikan keringanan akan hal tersebut karena beliau mendengar riwayat dari Abdullah bin ‘Umar yang berwasiat agar bagian awal dan akhir surat Al Baqarah hendaknya dibacakan ketika proses penguburan beliau. (Begitupula) telah dinukil beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa sebagian sahabat Anshar berwasiat hal yang serupa. (Namun), hal itu (yaitu, pembacaan Al Qur-an di kuburan) hanya dilakukan ketika proses pemakaman dan tidak ada riwayat dari para sahabat yang menyatakan hal itu dilakukan setelah proses pemakaman. Oleh karenanya, pendapat ketiga dalam permasalahan ini membedakan antara membaca Al Qur-an ketika proses pemakaman dengan membaca Al Qur-an secara rutin setelah pemakaman. Sesungguhnya (hal yang terakhir disebutkan) ini merupakan perbuatan bid’ah yang tidak berdasar sama sekali.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa mayit dapat mengambil manfaat dengan mendengarkan Al Qur-an yang tengah dibacakan dan memperoleh pahala atas hal itu, maka pendapat ini keliru karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan, “Apabila anak Adam wafat, maka seluruh amalannya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya”. Maka seorang setelah wafat tidak dapat memperoleh pahala dengan mendengar Al Qur-an atau yang lain meski mayit dapat mendengar langkah sandal para kerabatnya, salam yang disampaikan kepadanya (ketika peziarah mengunjunginya) dan yang selainnya, namun ia tidak memiliki amalan (yang dapat mendatangkan pahala baginya) melainkan amalan yang telah dikecualikan (dalam hadits yang lalu)” (Al Fatawa Al Kubra 3/32; Majmu’ul Fatawa 24/317).

Adapun berbagai riwayat yang memerintahkan untuk membaca surat tertentu ketika melewati pekuburan tidak dapat dijadikan hujjah. Diantaranya adalah riwayat yang populer di tengah masyarakat,
من مر بالمقابر فقرأ *( قل هو الله أحد )* إحدى عشرة مرة ، ثم وهب أجره  للأموات ، أعطي من الأجر بعدد الأموات “
“Barangsiapa yang melewati pekuburan lalu membaca surat Qul Huwallahu Ahad sebanyak sebelas kali dan menghadiahkan pahalanya pada mayat di pekuburan tersebut, maka ia akan mendapatkan pahala sejumlah mayat yang berada di pekuburan tersebut”.
Riwayat ini adalah riwayat yang batil dan maudlu’, diriwayatkan Ad Dailami dari nuskhah (catatan) Abdullah bin Ahmad bin ‘Amir dari ayahnya dari ‘Ali Ar Ridla dari leluhurnya. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Lisanul Mizan 3/252, menyatakan bahwa nuskhah tersebut merupakan nuskhah palsu lagi batil yang dipalsukan oleh Abdullah bin Ahmad atau ayahnya. Lihat keterangan serupa dalam Al Kasyful Hatsits 1/46&149 karya Abul Wafa Ath Tharabilisi, Adl Dlu’afa wal Matruukin 2/115  karya Ibnul Jauzi.
Kedelapan, Mengupah seorang untuk membacakan Al Qur-an
Di beberapa pekuburan Islam sering kita temui orang-orang yang menawarkan jasa membaca Al-Quran dan do’a kepada para peziarah kubur. Para peziarah pun menggunakan jasa mereka dan memberikan imbal balik kepada jasa mereka dengan imbalan uang. Sehingga, tidak jarang jadilah membaca Al Quran dan do’a yang diperuntukkan bagi penghuni kubur sebagai profesi.
Praktek seperti ini, yaitu membacakan Al Quran kemudian memperoleh upah dari usahanya tersebut sangat bertentangan dengan dalil-dalil syari’at yang menegaskan bahwa ibadah itu hanyalah diperuntukkan kepada Allah, harus ikhlas, bukan untuk memperoleh duit!
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (٥)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5).

أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ (٩٠)
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran).” Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.” (Al An’am: 90).
Syaikhul Islam Abul ‘Abbas rahimahullah mengatakan,
Mengupah orang-orang untuk membaca Al Qur-an lalu menghadiahkan pahalanya kepada mayit merupakan perkara yang tidak disyari’atkan, tidak pula dianjurkan oleh salah seorang ulama pun. Sesungguhnya (pahala) Al Qur-an yang sampai (dan dapat bermanfaat bagi mayit adalah yang dikerjakan dan diniatkan) untuk Allah (bukan untuk meraih duit, peny).
Apabila hal itu dilakukan, maka sesungguhnya (mereka itu) diupah agar membaca (Al Qur-an) untuk Allah, sedangkan si pengupah tidak bersedekah atas nama mayit, bahkan ia mengupah seorang yang membaca Al Qur-an dalam rangka ibadah kepada Allah ‘aza wa jalla, maka hal itu tidaklah sampai kepada mayit .
Akan tetapi jika upah itu disedekahkan atas nama mayit kepada orang yang membaca Al Qur-an atau selain mereka, maka hal tersebut dapat bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Demikian pula, seorang yang membaca Al Qur-an dengan mengharap pahala dari Allah ta’ala lalu menghadiahkannya kepada mayit, maka hal ini bermanfaat bagi si mayit. Wallahu a’lam. (Majmu’ul Fatawa 24/300)

Kesembilan, berdoa menghadap kuburan
Peziarah kubur dianjurkan  untuk berdo’a bagi penghuni kubur yang diziarahi. Mereka juga diperbolehkan untuk mengangkat tangan ketika berdo’a berdasarkan hadits ‘Aisyah radliallahu ‘anha, beliau mengatakan,
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة فأرسلت بريرة في أثره لتنظر أين ذهب قالت فسلك نحو بقيع الغرقد فوقف في أدنى البقيع ثم رفع يديه ثم انصرف فرجعت إلي بريرة فأخبرتني فلما أصبحت سألته فقلت يا رسول الله أين خرجت الليلة قال بعثت إلى أهل البقيع لأصلى عليهم
Pada suatu malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam   keluar rumah. Maka aku mengutus Barirah agar membuntuti beliau untuk mengetahui kemana gerangan beliau pergi. Ia mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam   menuju ke arah pekuburan Baqi’ul Gharqad, beliau berdiri di pinggir pekuburan sembari mengangkat tangannya kemudian pergi. Barirah pun kembali dan menceritakan hal tersebut kepadaku. Tatkala subuh telah tiba, aku pun bertanya kepada beliau, “Wahai rasulullah, semalam engkau pergi kemana?” Beliau pun menjawab, “Aku diperintahkan agar pergi ke pekuburan Baqi’ untuk mendo’akan para penghuninya” (HR. Ahmad 6/92 dengan sanad hasan dan terdapat riwayat lain dari Muslim nomor 974 yang menetapkan bolehnya mengangkat tangan ketika berdo’a bagi penghuni kubur).

Patut diperhatikan tatkala berdo’a, peziarah menghadap ke arah kiblat bukan ke arah kubur, karena hal tersebut dianalogikan dengan larangan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat menghadap kubur. Sebagaimana yang telah dimaklumi, bahwa do’a adalah inti shalat, bahkan inti seluruh peribadatan adalah do’a sebagaimana tercantum dalam hadits, sehingga larangan tersebut lebih layak diterapkan dalam permasalahan ini.

Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan,
“Apabila do’a merupakan salah satu bentuk peribadatan yang teragung, maka bagaimana bisa seorang berdo’a dengan menghadap ke arah selain kiblat, padahal seorang diperintahkan menghadap ke arah kiblat tatkala shalat. Oleh karena itu, telah menjadi ketentuan baku diantara para ulama peneliti bahwa seorang yang berdo’a harus menghadap kiblat sebagaimana yang ia lakukan ketika shalat” (Ahkaamul Janaaiz hal. 247).

Hal ini merupakan pendapat madzhab imam yang empat, yaitu imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Beliau mengatakan,
“Madzhab imam yang empat, Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad dan para imam selain mereka menyatakan bahwa apabila seorang (yang berziarah ke kubur beliau) mengucapkan salam kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam   lalu berkeinginan untuk berdo’a bagi dirinya sendiri, maka hendaklah ia menghadap kiblat. Namun mereka berselisih, ke arah manakah orang tersebut menghadap ketika mengucapkan salam kepada beliau” (Al Qaidatul Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal. 125, dinukil dari Ahkaamul Janaaiz hal. 248).

Perkataan Ibnu Taimiyah di atas tidaklah mengada-ada, bahkan pendapat yang menyatakan berdo’a harus menghadap kiblat dan bukan menghadap kuburan merupakan pendapat para ulama Syafi’iyyah sebagaimana hal ini diisyaratkan An Nawawi ketika membawakan perkataan imam Abul Hasan Muhammad bin Marzuq Az Za’farani rahimahumallah,
“Barangsiapa yang ingin mengucapkan salam kepada mayit, hendaklah ia mengucapkan salam dengan menghadap ke arah wajahnya. Apabila ia hendak berdo’a, maka hendaklah ia berpindah posisi dan menghadap ke arah kiblat” (Al Majmu’ 5/311).

Kesepuluh, melakukan safar atau perjalanan jauh untuk menziarahi kubur tertentu
Imam Malik, imam Al Juwaini Asy Syafi’i, al Qadli ‘Iyadl Asy Syafi’i dan ulama lainnya yang mengharamkan bersafar untuk menziarahi kubur atau tempat-tempat lain yang diyakini mengandung keutamaan. Hal ini ditopang oleh sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
لا تشد الرحال إلا ثلاثة مساجد مسجد الحرام ومسجد الأقصى ومسجدي
“Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi)” (HR. Bukhari nomor 1139).
Hadits yang menegaskan pelarangan untuk bersafar ke tempat-tempat yang diduga memiliki keutamaan adalah hadits Abu Basrah Al Ghifari yang mengingkari tindakan Abu Hurairah radliallahu ‘anhu yang mendatangi bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana. Abu Basrah mengatakan kepadanya, ““Jika aku berjumpa denganmu sebelum dirimu berangkat, tentulah engkau tidak akan pergi kesana”. Kemudian beliau berdalil dengan hadits syaddur rihal di atas dan Abu Hurairah menyetujuinya (HR. Ahmad nomor 23901 dengan sanad yang shahih).

Kesebelas,  memintakan ampun bagi mayit kafir
Seorang muslim tidak boleh memintakan ampunan dan mendo’akan seorang kafir meski ia adalah kerabat terdekatnya. Allah ta’ala telah menegaskan bahwa balasan mereka adalah siksa yang teramat pedih, dan tidak ada yang bisa membebaskannya meski mereka menyerahkan emas sepenuh bumi.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الأرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ (٩١)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun ia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong” (Ali Imran: 91).
Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah ta’ala,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (١١٣)
“Tidak sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (At Taubah: 113).
Allah ta’ala berfirman,
وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (٨٤)
“Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (At Taubah: 84).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Allah ta’ala memerintahkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam   untuk berlepas diri dari kaum munafik, tidak menshalati salah seorang dari mereka apabila mati serta tidak berdiri di samping kuburnya untuk memintakan ampun atau berdo’a baginya. Demikian itu dikarenakan mereka kafir terhadap Allah dan rasul-Nya serta mengakhiri hidupnya di atas kekafiran”(Tafsirul Qur-anil ‘Azhim 4/192-193).

An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (5/144) mengatakan,
“Adapun menshalati jenazah orang kafir dan memohon ampunan baginya, hukumnya haram berdasarkan nash Al Quran dan ijma’.
Namun diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengunjungi kuburan kerabatnya, meski ia adalah seorang yang kafir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
استأذنت ربي عز وجل في أن أستغفر لها فلم يؤذن لي واستأذنت في أن أزور قبرها فأذن لي
“Aku meminta kepada Rabb-ku ‘azza wa jalla agar aku boleh berdo’a memohon ampun bagi ibuku, namun hal itu tidak diperkenankan bagiku. Kemudian aku memohon agar aku diperbolehkan mengunjungi kuburnya, maka hal ini diperbolehkan bagiku” (HR. An Nasaai nomor 2007; Ibnu Abi Syaibah 3/223; Al Baihaqi dalam Al Kubra 4/70,76; Hakim nomor 1339 dengan sanad yang shahih).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar