Assalamu'alaikum

أهلا و سهلا ومر حبا

Kamis, 26 Mei 2011

kekeliruan dalam Ziarah kubur4

Kedua belas, meratap dan menangis meraung-raung
Dari Ummu ‘Athiyyah radliallahu ‘anha, ia berkata,
أخذ علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم مع البيعة ألا ننوح
“Ketika bai’at, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  meminta kami agar tidak meratapi mayit.” (HR. Muslim nomor 936).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت
“Dua perkara kekufuran yang dipraktekkan banyak orang, yaitu mencela keturunan dan meratapi mayit.” (HR. Muslim nomor 67).
Terdapat hadits yang patut direnungkan bagi mereka yang sering meratapi keluarga yang telah wafat. Hadits yang menyatakan bahwa mayit akan merasa tersiksa apabila diratapi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من نيح عليه فإنه يعذب بما نيح عليه يوم القيام
“Barangsiapa yang ditangisi diiringi dengan ratapan, maka ia akan tersiksa pada hari kiamat kelak disebabkan ratapan tersebut.” (HR. Muslim nomor 933).

Ketiga belas, duduk di Atas Kuburan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأن يجلس أحدكم على جمرة فتحرق ثيابه فتخلص إلى جلده خير له من أن يجلس على قبر
“Lebih baik salah seorang diantara kamu duduk di atas bara api hingga membakar pakaiannya dan sekujur tubuhnya daripada duduk di atas kubur.” (HR. Muslim nomor 971).

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
وأكره وطء القبر والجلوس والاتكاء عليه
“Aku membenci apabila seorang menginjak kubur, duduk dan bersandar di atasnya (Al Umm 1/463).
An Nawawi juga menyatakan duduk di atas kuburan merupakan perbuatan yang dibenci dan beliau menandaskan bahwa hal serupa dinyatakan oleh rekan-rekan beliau dan jumhur ulama (Al Majmu’ 5/312).
Sebagian ulama diantaranya imam Abu Hanifah, Abu Yusuf begitupula imam Malik dalam Al Muwaththa’ 1/223, berpendapat bahwa duduk yang terlarang dalam hadits tersebut adalah duduk untuk buang hajat,  diantara dalil mereka adalah hadits Abu Hurairah, beliau mengatakan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من جلس على قبر يبول عليه أو يتغوط فكأنما جلس على جمرة
“Barangsiapa yang duduk di atas kubur kemudian kencing atau buang hajat di atasnya, seakan-akan dirinya duduk di atas bara api” (Syarhul Ma’ani Atsar nomor 2717, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini mungkar dalam Adl Dla’ifah 2/387 hadits nomor 966).

Imam Ibnu Hazm membantah pendapat tersebut dengan beberapa alasan dalam kitab beliau Al Muhalla 5/136,
“Sebagian ulama membawakan larangan tersebut bagi orang yang duduk untuk buang hajat. Pendapat ini batil dari beberapa sisi,
Pertama, pendapat ini tidak didukung oleh dalil dan termasuk perbuatan memalingkan sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makna sebenarnya, dan hal ini perbuatan yang buruk sekali.
Kedua, lafadz hadits sama sekali tidak mendukung pendapat tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam   bersabda, “Lebih baik salah seorang diantara kalian duduk di atas bara api hingga membakar pakaiannya dan sekujur tubuhnya daripada duduk di atas kubur”. Seorang yang memiliki naluri yang sehat tentu akan mengetahui bahwa seorang yang duduk untuk buang hajat sama sekali tidak demikian bentuknya (maksudnya sambil memakai pakaian sebagaimana yang tertera dalam hadits, simak perkataan beliau selanjutnya, peny). Oleh karena itu, kami tidak pernah mengetahui seorang pun duduk untuk buang hajat dengan berpakaian kecuali orang tersebut kurang beres otaknya.
Ketiga, para perawi hadits hanya menyebutkan bentuk duduk yang sudah dikenal  karena kami tidak mengetahui, secara bahasa kalimat “jalasa fulanun” (si fulan duduk) bermakna taghawwat (si fulan buang hajat). Jadi jelaslah kerusakan pendapat ini. Walillahil hamd”.

Keempat belas, tradisi tabur bunga
Perbuatan ini sering dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun riwayat valid yang menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi suatu kubur.
Berdasarkan keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat.

Seorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan,
“Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat” Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi sebagian negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu” Lalu di akhir perkataan, beliau menyatakan,
“Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan kemungkaran yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Al Qur-an dan sunnah nabi. Dan kewajiban para ulama adalah mengingkari dan melarang segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka” (Ta’liq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaiz hal. 254).
Oleh karena itu tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini  tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
ومن تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum ,maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya nomor 19401, 19437 dan 33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa’ 5/109).

Ibnu ‘Abdil Barr al Maliki rahimahullah mengatakan, “(Maksudnya orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asaanid 6/80).

Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma (HR. Bukhari nomor 8 dan Muslim nomor 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.

Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan do’a dan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إني مررت بقبرين يعذبان فأحببت بشفاعتي أن يرفه عنهما ما دام الغصنان رطبين
“Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah” (HR. Muslim nomor 3012).
Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah do’a dan syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah.
Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah ta’ala,
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا (٤٤)
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (Al Israa: 44).
Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.

Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitupula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya)” (Fathul Baari 3/223).
Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.

Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan nabi tersebut merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala dan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman,
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦)إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧)
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya” (Al Jinn: 26-27).
Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.

Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka  (su’uzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala saat mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam).

Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syari’at kita.
Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki yang telah lewat, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyari’atan sebuah amalan.

Ikhtitam
Sebagai penutup, patut kami ingatkan bahwa tujuan pensyari’atan ziarah kubur adalah memberikan manfaat kepada mayit dengan mengucapkan salam dan mendo’akan ampunan baginya. Peziarah pun mengambil manfaat dari ziarah yang dilakukannya, yaitu dengan mengingat akhirat dan merenungkan kondisi saudara mereka yang telah wafat.
Berbagai tujuan tersebut dapat kita ketahui ketika merenungkan hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membicarakan pensyari’atan ziarah kubur. Silahkan melihat kembali artikel “Ziarah Kubur”. Jika ziarah kubur tersebut dilakukan dengan tujuan selain ini, maka hal tersebut tidak sesuai dengan hikmah pensyari’atan ziarah kubur.
Ash Shan’ani rahimahullah dalam Subulus Salam (2/162) mengatakan, “Seluruh hadits ini menunjukkan pensyari’atan ziarah kubur serta memuat penjelasan hikmah di balik hal tersebut, yaitu agar mereka dapat mengambil pelajaran tatkala berziarah kubur. Dalam lafadz hadits Ibnu Mas’ud disebutkan hikmah tersebut, yaitu untuk pelajaran, mengingatkan pada akhirat dan agar peziarah senantiasa berlaku zuhud di dunia. Apabila ziarah kubur dilakukan dengan tujuan selain ini, maka ziarah yang dilakukan tergolong sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at.”Wallahu a’lam.
Oleh karena itu, seorang yang menziarahi suatu kubur dengan tujuan semisal mengharap berkah dari kubur tersebut atau bertujuan melakukan peribadatan di sebuah kubur karena meyakini beribadah disana lebih afdlal ketimbang di masjid, tempat yang paling Allah cintai, maka tujuan tersebut tidaklah selaras dan sejalan dengan hikmah dan tujuan yang telah ditetapkan oleh agama ini.
Demikianlah berbagai kekeliruan seputar ziarah kubur yang dapat kami sampaikan kepada para pembaca. Besar harapan kami artikel ini dapat bermanfaat bagi diri kami dan sidang pembaca seluruhnya.
أسأل الله أن يوفقنا على صراطه المستقيم و يجعلنا من المستحقين لدخول جنته النعيم. و صلى الله على محمد و على آله و صحبه و آخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Tidak ada komentar:

Posting Komentar