Assalamu'alaikum

أهلا و سهلا ومر حبا

Kamis, 26 Mei 2011

kekeliruan dalam Ziarah kubur 1

Pada pembahasan ini kami berusaha merangkum beberapa poin yang kerap dilakukan oleh sebagian kaum muslimin tatkala berziarah kubur. Selaras dengan judul di atas, berbagai poin tersebut kami masukkan ke dalam satu tema, yaitu berbagai kekeliruan yang sering dilakukan tatkala berziarah kubur. Kaum muslimin patut memperhatikannya agar mampu membentengi diri dari berbagai kekeliruan serta menyampaikannya kepada mereka yang keliru dilandasi dengan ilmu dan menggunakan metode yang bijak.
Uraian dalam artikel ini kami sajikan dengan ringkas dengan memaparkan dalil dari Al Qur-an dan sunnah, tidak lupa kami mengutip beberapa perkataan para ulama di setiap permasalahan. Jika terdapat pembahasan yang agak panjang, maka hal itu semata-mata atas pertimbangan kami untuk memaparkan secara detail permasalahan tersebut.
Artikel ini kami sajikan kepada sidang pembaca dengan harapan dapat bermanfaat. Semoga Allah menjadikan amalan ini ikhlas untuk menggapai ridla-Nya. Tidak lupa kami haturkan terima kasih kepada ustadzuna Abu Umamah hafizhahullah ta’ala yang telah mengkoreksi artikel ini dan juga kepada berbagai pihak yang telah membantu. Semoga Allah membalas kebaikan mereka.

Beberapa Kekeliruan dalam Berziarah Kubur
Pertama, berdo’a kepada Penghuni Kubur
Keadaan peziarah kubur tidak terlepas dari empat kondisi,
Pertama, mendo’akan rahmat dan ampunan bagi para penghuni kubur, mengkhususkan permintaan do’a dan ampunan bagi penghuni kubur yang dikunjungi, mengambil pelajaran dari kondisi yang dialami para mayit sehingga hal tersebut menjadi peringatan dan nasehat baginya. Ziarah ini adalah ziarah syar’iyyah, ziarah yang sesuai dengan tuntunan syari’at.
Kedua, berdo’a kepada Allah untuk kebaikan dirinya, bagi orang yang berada di sekeliling kubur dan untuk penghuni kubur secara khusus dengan keyakinan berdo’a di samping pekuburan atau di kuburan fulan lebih utama dan lebih mudah untuk dikabulkan daripada berdo’a di masjid, maka ziarah model ini merupakan bid’ah yang munkar. Pernyataan yang menegaskan bahwa berdo’a di samping kubur akan lebih mudah untuk dikabulkan adalah pernyataan yang patut diragukan kebenarannya, karena menentukan keutamaan suatu tempat dari segi peribadatan di dalamnya merupakan perkara ghaib yang memerlukan dalil. Terlebih tidak terdapat dalil yang shahih, baik dari al Qur-an dan sunnah yang menunjukkan hal ini.
Ketiga, berdo’a kepada Allah ta’ala dengan menjadikan penghuni kubur sebagai perantara. Seperti ucapan, “Aku memohon kepada-Mu, wahai Rabb-ku, tunaikanlah permintaanku dengan perantara haknya  dan kedudukannya di sisi-Mu.” atau perkataan semisalnya. Hal ini bid’ah muharramah dan perantara menuju kesyirikan. Bahkan jika diiringi keyakinan bahwa Allah perlu perantara, maka berstatus syirik besar dan sama dengan keyakinan kaum musyrikin di zaman jahiliyah dulu. Allah telah mengabadikan keyakinan mereka tesebut dalam surat Az Zumar ayat 3, Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى (٣)
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. (Az Zumar: 3).

Qatadah, As Suddi dan Malik meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dan Ibnu Zaid rahimahumullah tafsir terhadap ayat , إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى . Mereka mengatakan, maksudnya kami beribadah kepada berhala sesembahan itu agar mereka dapat memberi syafa’at kepada kami dan mendekatkan derajat kami di sisi Allah.
Ibnu Katsir Asy Syafi’i mengatakan,
“Syubhat inilah yang dijadikan alasan oleh kaum musyrikin, baik dahulu maupun sekarang.” (Tafsirul Qur-anil ‘Azhim 7/85; dikutip dari Imam Asy Syafi’i menggugat Syirik).

Sebagian kalangan berdalil dengan firman Allah ta’ala pada surat An Nisaa ayat 64 untuk membenarkan praktik mendatangi kubur orang shalih kemudian menjadikannya sebagai wasilah (perantara) meskipun orang shalih tersebut telah wafat. Teks ayat tersebut adalah sebagai berikut,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (٦٤)
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka akan mendapati bahwa Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”

Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad hafidzhahullah ta’ala berkata,
“Ayat ini tidak tepat dijadikan dalil untuk mendukung praktik pergi ke kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seorang berbuat zhalim, lalu meminta beliau memohon kepada Allah agar mengampuninya karena konteks ayat ini berkenaan dengan kaum munafik. Meminta nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdo’a kepada Allah agar mengampuni dosa seorang hanya dapat terealisasi semasa beliau hidup, karena para sahabat radliallahu ‘anhum tidak pernah melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, ‘Umar radliallahu ‘anhu bertawassul dengan do’a Al ‘Abbas (dan tidak mendatangi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertawassul dengan do’a beliau) ketika terjadi musim kemarau. Beliau berkata, “Ya, Allah. Dahulu jika kami mengalami musim kemarau, kami bertawassul dengan do’a nabi-Mu, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Dan sekarang, kami bertawassul dengan do’a paman nabi-Mu, maka turunkanlah hujan kepada kami”. Maka Anas radliallahu ‘anhu pun berkata, “Maka Allah pun menurunkan hujan kepada mereka” (HR. Bukhari nomor 964 & 3507).
Jika tawassul dengan do’a nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diperbolehkan setelah beliau wafat, maka tentu ‘Umar radliallahu ‘anhu tidak akan bertawassul dengan do’a Al ‘Abbas (karena ‘Umar akan lebih memilih bertawassul dengan do’a nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dalil lain yang memperkuat hal yang kami utarakan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya yang mengutarakan sebuah kejadian tatkala ‘Aisyah radliallahu ‘anha menderita sakit kepala. Ketika itu, ‘Aisyah mengucapkan, “Aduh,  bisa mati aku karena sakit kepala! Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, jika hal itu terjadi dan aku masih hidup, maka aku akan memohon ampun bagimu. Maka ‘Aisyah pun menukas, “Celaka, sungguh dengan perkataan anda tadi, aku mengira anda menginginkan saya mati saja” (HR. Bukhari nomor 5342).
Jika meminta nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memohon kepada Allah, diperbolehkan setelah beliau wafat, maka tentu tidak akan ada perbedaan jika ‘Aisyah wafat sebelum nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sebaliknya (Fadlul Madinah wa Adabu Suknaha wa Ziyaratiha hal. 49-50).
Keempat, peziarah kubur tersebut tidak berdoa kepada Allah, namun malah berdo’a kepada penghuni kubur. Seperti ucapan, “Wahai wali fulan, wahai tuanku, tolonglah aku dan tunaikanlah permintaanku” atau ucapan semisal. Maka ini adalah syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam karena berdo’a kepada selain Allah. Allah ta’ala berfirman,
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ
“Janganlah kamu berdo’a (menyembah) kepada sesembahan lain di samping (berdo’a kepada) Allah. Tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia.” (Al Qashash: 88).
Allah juga memerintahkan pada nabi kita yang mulia untuk mengucapkan,
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (١٨٨)
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (Al A’raaf: 188).

Jika nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak mampu mendatangkan manfaat dan mencegah bahaya dari diri beliau, maka tentunya beliau lebih tidak mampu untuk melakukan hal itu bagi orang lain. Begitu pula orang yang memiliki derajat ketakwaan di bawah beliau seperti para wali, habib dan kyai, yang hidup maupun yang telah wafat, mereka semua tidak memiliki kekuasaan untuk mendatangkan manfaat dan mencegah bahaya dari diri mereka sendiri terlebih dari diri orang lain, karena hal tersebut mutlak hanya bisa dilakukan oleh Allah. Allah berfirman,
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ  .إِنْ تَدْعُوهُمْ لا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
“Dan orang-orang yang kamu seru selain Allah tiada memiliki sesuatupun meski setipis kulit ari. Jika kamu berdo’a kepada mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalaulah mereka mendengar, mereka tidaklah mampu memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikan yang kalian lakukan dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh yang Mahamengetahui” (Faathir: 13-14).

Ash Shan’ani rahimahullah berkata,
“Tujuan ziarah kubur adalah untuk mendo’akan mayit, berbuat baik kepada mereka, serta dapat mengingatkan peziarah terhadap kehidupan akhirat dan berlaku zuhud di dunia. Adapun perbuatan yang menyelisihi syar’iat dan dilakukan sebagian besar orang seperti berdo’a, meminta pertolongan kepada mereka atau meminta kebutuhan kepada Allah dengan hak penghuni kubur, maka seluruh hal ini adalah bentuk kebid’ahan dan kebodohan” (Subulus Salam 1/73).

Kedua, menyembelih di pekuburan
Dari Anas bin Malik, ia berkata, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا عقر في الإسلام
“Tidak ada ‘aqra dalam Islam”.
Abdurrazzaq berkata, “Kaum musyrikin dahulu sering menyembelih sapi atau kambing di pekuburan.” (HR. Abu Dawud nomor 3222 dengan sanad yang shahih).
Yang dimaksud dengan aqra’ dalam hadits tersebut adalah menyembelih di pekuburan sebagaimana tradisi orang kafir jahiliyah. Al Khaththabi mengatakan, “Kaum jahiliyah dahulu sering menyembelih unta di samping kuburan seorang.” (Lihat keterangan lebih lanjut dalam Aunul Ma’bud 9/30-31).
Larangan ini berlaku secara mutlak, baik sembelihan itu ditujukan bagi penghuni kubur atau tidak. Jika sembelihan itu ditujukan pada penghuni kubur, maka pelakunya telah melakukan syirik akbar karena mempersembahkan salah satu bentuk peribadatan kepada selain Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لعن الله من ذبح لغير الله
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah” (HR. Muslim nomor 1978).

Imam an Nawawi mengatakan,
“Adapun menyembelih untuk selain Allah, maka maksudnya adalah menyembelih dengan menyebut nama selain Allah ta’ala. Seperti orang yang menyembelih untuk berhala, salib, Musa, Isa alaihimassalam, atau untuk Ka’bah dan semisalnya. Seluruh perbuatan ini haram, daging sembelihannya haram dimakan, baik si penyembelih seorang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi. Demikian yang ditegaskan imam Asy Syafi’i dan disetujui oleh rekan-rekan kami. Apabila si penyembelih melakukannya dengan diiringi pengagungan terhadap objek tujuan penyembelihan, yaitu makhluk selain Allah dan dalam rangka beribadah kepadanya, maka hal ini merupakan kekafiran. Apabila pelaku sebelumnya adalah seorang muslim, maka dengan perbuatan tersebut dia telah murtad” (al Minhaj Syarh Shahih Muslim 13/141).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar